Review Kania



Judul Buku : Kania

Penulis : Hapsari Hanggarini

Penerbit : moka media

Tebal : 298 Halaman

ISBN : 979-795-921-X



Blurb;

Aku yakin setiap orang pernah mengunjungi tempat yang membuatnya tak ingin kembali atau bahkan tak ingin mendengar namanya. Bukan karena tak istimewa, lingkungannya kumuh, atau makanannya tak lezat, tapi karena ia bisa menemukan dirinya yang lama di tempat itu. Seperti ibuku, yang tiba-tiba tak menyukai Yogya.



Aku lahir dan dibesarkan dalam budaya Sunda. Tingkah laku, sifat, peran, hingga kepribadianku pun diatur dalam norma-norma. Meski begitu, orangtuaku tak pernah mengajarkan untuk membenci apalagi memusuhi suku lain. Maka, aku heran ketika ibuku tiba-tiba menangis saat kakakku memutuskan untuk menikah dengan seorang Jawa. Ia pun hanya terdiam ketika aku menyebutkan seorang yang aku cinta, juga seorang Jawa.



Aku bertanya padanya, kenapa?

Tapi dia tak menjawab. Sampai akhirnya, saat aku mendapatkan alasannya di Ketapang, aku berpikir, wajar jika ibuku menangis.


*       *       *


Pernah memiliki hubungan dengan seseorang yang berbeda suku? Lalu, sang Ibunda melarang hubungan tersebut? Nah! Persoalaan seperti itulah yang dihadapi oleh Kania-tokoh utama dalam novel Mbak Hapsari yang ke empat ini. Sebenarnya aku juga seperti Kania sih, karena memiliki hubungan dekat dengan pria dari beberapa negara, tinggal milih mau serius sama yang mana. Nih di antaranya, Japanese, British, Pole, Finn, Scot, Dutch, Germany-garis-miring-NGAREP. Oke ulangi ya, NGA-REP!! Atau bahasa ilmiahnya mimpi-punya-pacar-bule-di-siang-bolong-yang-pastinya-gak-akan-pernah-terjadi.


OH, tolong jangan segitu lebay-nya menautkan alis kalian saat membaca paragraf awal resensiku ini. Kalian bisa men-skip-nya tanpa membaca paragraf awal tersebut, aku akui itu hanya mimpi terpendam sekaligus curahan hatiku saja yang kelewat jauh (sebegitu jauhnya, sampe menyeberang samudera sampe benua). Kembali ke niat awal untuk meresensi novelnya Mbak Hapsa yang imut-imut. Siap-siap! Paragraf berikutnya adalah curahan hatiku untuk Kania.


Mengambil latar yang ‘Indonesia banget’ dan bukannya Jepang (mengingat kedua novel sebelumnya berlatar Jepang) tidak menyurutkan karakter penulisan Mbak Hapsa yang mendetail tentang latar lokasi. Jujur, ini adalah novel berlatar Indonesia yang tidak hanya seperti tempelan semata yang pertama aku baca. Maksudku, di dalamnya ada bumbu-bumbu kebudayaan dari masing-masing tempat yang diceritakan. Sebelumnya aku ini penggemar novel berlatar luar negeri, karena penulis pasti membuat latar ceritanya senyata mungkin. Berbeda dengan novel-novel berlatar dalam negeri, penulis seringkali melupakan latar tempat yang seharusnya dapat dinikmati pembaca. Contoh, saat Kania berada di Ketapang (aku pun gak tahu persis Ketapang ada di daerah mana, oke nilai Geografi-ku dulu waktu kelas 1 SMA memang gak bagus-bagus amat, tapi memang faktanya aku bukan termasuk ke dalam anak Sosial. Ini yang namanya ngeles berintelek) ada adegan Kania dan Danang makan ale-ale yang katanya makanan khas di sana. Taruhan, kalian juga awalnya pasti ngira itu adalah merek dari minuman kemasan, ya kan, kan..! Habis ini aku bakalan googling, seperti apa sih ale-ale itu, yang bentuknya pun aku gak tahu sama sekali. Anyway, kenalin Danang itu calon suamiku. Lho, bukan, ehem.. maksudnya tokoh utama yang dipasangkan dengan Kania.


Merujuk pada penokohan, aku lebih menyukai tokoh Danang yang orang Yogya itu. Yaah, walaupun ada di beberapa bab-nya tokoh Danang ini seperti ‘menghilang’. Apalagi saat Agus malah berbalik untuk melamar Kania. Padahal dia yang mencoba menjodohkan Danang dengan Kania. Yak, si Agus ini nih tukang perusak hubungan orang. Eh, bungan deng, dasar akunya aja yang emang gak suka tokoh Agus. Hahahaha Tapi tokoh Kania itu, walau aku gak terlalu suka dengan karakternya, Mbak Hapsari sukses membuatnya manusiawi. Beberapa kebiasaan kecil yang dituliskan Mbak Hapsa, membuat Kania semakin terasa nyata dan ‘hidup’.


Pokoknya recomended banget deh, kalau yang suka masalah cinta, keluarga, dan menaklukan cowok cool. Eh, aku belum bilang yah kalau Danang itu dingin pake-tanda-kutip. (Heehe ketauan deh, tipe cowoknya kayak gimana). Cara bercerita dan pendeskripsiannya juga khas Mbak Hapsa banget. Psstt.. aku udah tau ciri khas penulisan Mbak Hapsa lho, soalnya dari novelnya yang Sapporo, Cemburu, dan yang Kania ini memiliki satu kesamaan. ;) Lalu, lalu, ending-nya pun tak terduga. Hihi suka deh sama ending yang diambil Mbak Hapsa kali ini. Nice!

Segitu dulu cuplikan novel terbaru Mbak Hapsa yang berjudul Kania ini, berhubung buat resensinya dengan kondisi gak sehat, jadi meracau kemana-mana deh. Udah bolak-balik lihat jam karena belum boleh tidur malem. Jadi, untuk menutup resensiku kali ini, aku kasih bintang 3,5.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer