Pokoknya, 86 lah! Asal ada uang, semua beres : Sebuah Resensi

Judul Buku :
86
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 256 hlm
ISBN : 9789792267693

Blurb ;

Apa yang bisa dibanggakan dari pegawai rendahan di pengadilan? Gaji bulanan, baju seragam, atau uang pensiunan?

Arimbi, juru ketik di pengadilan negeri, menjadi sumber kebanggaan bagi orangtua dan orang-orang di desanya. Generasi dari keluarga pertani yang bisa menjadi pegawai negeri. Bekerja memakai seragam tiap hari, setiap bulan mendapat gaji, dan mendapat uang pensiun saat tua nanti.

Arimbi juga menjadi tupuan harapan, tempat banyak orang menitipkan pesan dan keinginan. Bagi mereka, tak ada yang tak bisa dilakukan oleh pegawai pengadilan.

Dari pegawai lugu yang tak banyak tahu, Arimbi ikut menjadi bagian orang-orang yang tak lagi punya malu. Tak ada yang tak benar kalau sudah dilakukan banyak orang. Tak ada lagi yang harus ditakutkan kalau semua orag sudah menganggap sebagai kewajaran.

Pokoknya, 86!

*   *   *

Sudah nggak usah sungkan-sungkan. Memang kita baru kenal, tapi ya sama-sama tahulah, delapan enam aja deh!” –86, hlm 94.

“Memang terima-terima seperti itu tidak apa-apa ya?” tanya Arimbi pada teman dekatnya di kantor, Anisa. 86, hlm 70.

“Ya tidak apa-apa, wong bosnya juga terima. Semua orang kalau kamu tanya juga pasti terima. 86, hlm 70.                                                                                                                                                                                           Semua orang di sini juga seperti itu. Jadi tahu sama tahu. Yang bego yang nggak pernah dapat. Sudah nggak dapat apa-apa, semua orang mengira dia dapat.” 86, hlm 103.
Tak ada lagi rasa waswas saat Arimbi berada di depan kasir supermarket saat belanja bulanan. Arimbi tak harus berpikir bagaimana agar gajinya tersisa. Dia tak harus hitung-hitungan untuk punya sedikit tabungan, persiapan kalau ada kebutuhan mendadak. Sekarang dia selalu merasa aman. Ada uang di luar gajinya. 86, hlm 107.


Istilah 86 dalam kepolisian diartikan dengan "dimengerti untuk dilaksanakan. Namun hingga saat ini artinya jadi berubah: “semua bisa diatur, asal ada uang”.

Novel ini berkisah tentang Arimbi, perempuan lugu dari desa yang berawal dari dari generasi keluarga petani. Orangtua Arimbi bangga bukan kepalang, anak perempuan satu-satunya bisa menjadi juru ketik di pengadilan negeri. Kini Arimbi menjadi tumpuan harapan, tempat banyak orang menitipkan pesan dan keinginan. Bagi mereka, tak ada yang tak bisa dilakukan oleh pegawai pengadilan.

Tema yang diangkat penulis sangat melekat dengan negara kita hingga sekarang, yakni korupsi. Kasus suap menyuap lembaga pengadilan yang melibatkan partai yang berkuasa saat ini menjadi contoh dari bahaya yang timbul akibat kebiasaan yang sudah begitu mengakar dan menjadi penyakit. Novel pertama Okky Madasari yang saya baca ini, berhasil menggambarkan praktik korupsi yang sudah mendarah daging di hampir setiap aparat pelayan publik di negeri ini.

Penulis berhasil menuangkan cerita dengan tema yang sensitif dan berat kedalam bahasa yang ringan dan plot yang sederhana. Membacanya novel 86 ini sungguh relate sekali dengan keadaan sekarang. Bahkan novel ini terbit tahun 2011, dan sekarang saya membacanya di awal tahun 2023 namun konflik yang diangkat pennulis masih sangat kental di Indonesia. Miris memang. 

Ending-nya entahlah saya merasa masih ada yang kurang. Terlalu terburu-buru menyelesaikan kisahnya? Mungkin. Namun secara keseluruhan saya menikmati kisah yang ditulis Mbak Okky Madasari. 4 / 5 

Jangan lupa mampir ke Instagram saya juga ya, @erikareieru. :)



Komentar

Postingan Populer