Review Love in Kyoto
Judul Buku : Love in Kyoto
Penulis : Silvarani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 240 Halaman
ISBN : 9786020336305
Blurb;
Penulis : Silvarani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 240 Halaman
ISBN : 9786020336305
Blurb;
“Adinda Melati, Satoe hari nanti, berkoendjoenglah ke Kjoto dengan kimono jang kaoe djahit dari kain sakoera ini. Akoe menoenggoemoe.”—Hidejoshi Sanada (13/11/45).
Veli, gadis yatim-piatu yang sejak kecil diasuh kakek-neneknya, adalah perancang busana yang tengah naik daun. Sepulang dari Jakarta Fashion Week, dia menemukan tumpukan surat lusuh di sela-sela koleksi kain nusantara almarhumah neneknya, Nenek Melati. Nama pengirim surat berbau Jepang itu mengusik rasa ingin tahunya, apalagi ada kaligrafi potongan ayat Al-Qur’an di dalamnya.
Bukan kebetulan, prestasi Veli sebagai desainer diganjar kesempatan tinggal beberapa bulan di Kyoto untuk mengikuti program industri budaya. Veli merasa, ini jalan untuk menambah ilmu sekaligus mencari tahu tentang Hideyoshi Sanada.
Dengan bantuan Mario, teman spesial yang sedang bertugas di Osaka, dan Rebi, kawan SMA yang sudah empat tahun menetap di Jepang, jalinan rahasia antara Hideyoshi dan Nenek pun satu per satu mulai terungkap. Penemuan ini juga membawa Veli dan Mario bertemu sosok dingin bernama Ryuhei Uehara, musisi muda shamisen, dan Futaba Akiyama, gadis pemalu penjaga kedai udon di tengah kota Kyoto. Ternyata, hubungan empat insan ini melahirkan kisah yang jauh lebih rumit dibanding cerita Hideyoshi dan Nenek Melati puluhan tahun silam.
* * *
Novel perdana karangan mbak Silvarani yang saya baca ini lumayan bisa membuatku betah membaca hingga akhir. Gaya penulisan dan bahasanya tak terlalu membosankan. Pemilihan konflik dan plotnya menurutku ada yang berbeda, yaitu menyatukan zaman saat sebelum kemerdekaan dengan zaman sekarang. Namun penokohannya tak ada sama sekali yang membuatku terkesan, tak ada yang menonjol. Serta yang lebih penting untuk penulis yang akan mengambil latar luar negeri, agar meriset negara yang akan dijadikan latar dalam novelnya semaksimal mungkin, baik itu dari segi bahasa, tempat-tempat, juga kultur dan budaya. Dalam novel ini aku menemukan banyak bahasa Jepang yang tidak pas dalam penempatan katanya.
Pertama saya akan mereview cara penulisannya, Silvarani mengambil PoV orang ketiga serba tahu. Gaya seperti ini banyak digunakan oleh para penulis, namun gaya penulisan seperti ini biasanya akan hanya memberi informasi sebelah pihak dari penulis kepada pembaca. Aku tipe pembaca yang ingin merasakan langsung konflik, latar, dan plot cerita dari sebuah cerita, jadi kalau menemukan cara penulisan seperti ini sedikit membuatku jengkel, kesannya memaksakan informasi tersebut kepada pembaca. Penulis harus pintar-pintar jikan ingin menggunakan PoV seperti ini. Juga terkadang Silvarani menulis dengan tak menjelaskan terlebih dahulu apa yang sedang dikenakan oleh tokoh utamanya, tiba-tiba tokoh utamanya sudah dijelaskan sedang meletakan tangannya ke dalam saku celana panjangnya. Ini terjadi bada adegan Ryuhei saat sedang mengajak Veli ke kedai Udon untuk melihat kemesraan Mario dengan Futaba. Saat itu aku masih berpikir si Ryuhei ini masih menggunakan pakaian ala Samurainya. Habisnya begitu sih dari awal perkenalan tokoh tersebut oleh sang penulis. Eh tiba-tiba aja si Ryuhei ini mengenakan pakaian layaknya orang biasa saat berkencan dengan Veli. Nggak dikasih tau gitu bagaimana pendapat Veli melihat perubahan pakaian Ryuhei tersebut. Kan biasanya si Veli ini selalu bertemu dengan Ryuhei pada saat dia mengenakan pakaian ala Samurai.
Selanjutnya mengenai konflik dan penokohan. Konflik di sini nothing special menurutku. Apa yah, aku saja lupa sebenarnya konflik dalam novel ini apa. Saking gak jelasnya mau dibawa kemana cerita antara tokoh dalam novel ini. Apakah tentang rasa ingin tahu Veli terhadap mantan kekasih neneknya itu, Hideyoshi. Lalu setelah menemui Hideyoshi pun aku binggung apa yang bisa didapatkan oleh Veli? Rasanya seperti hanya untuk mengaitkan Veli dengan tokoh Ryuhei saja, itu juga pada akhirnya kedekatan mereka tak jelas arahnya. Atau konflik tentang kebimbangan hubungan antara Veli dan Mario? Mario juga akhirnya dekat dengan Futaba karena mengantar Veli saat menemui Hideyoshi, dan berakhir sama dengan ketidak jelasan hubungan mereka di pertengahan. Tiba-tiba saja Veli dan Mario memilih jalan untuk kembali bersama yang tadinya dipertengahan mereka berniat untuk berpisah. Kesannya terlalu berbelit-belit dan mengada-ngada, agar hubungan Mario dan Veli untuk berpisah sementara.
Untuk penokohan aku rasa untuk seumur Veli yang sudah bekerja dan termasuk dewasa itu kok terlalu kekanakan ya, gak ada kesan dewasanya sama sekali. Cara berpikirnya terlalu lebay dan tak bisa tegas dalam mengambil pilihan hidupnya. Untuk tokoh Mario aku lumayan suka, cuma agak plin-plan aja sih sebenarnya sebagai cowok. Dan teman baiknya si Rebi ini lumayan juga gak seperti tokoh sampingan yang nempel sekilas doang. Tapi untuk penokohan orang Jepang seperti Hideyoshi, Futaba, dan Ryuhei, masih belum terasa mereka itu orang Jepangnya. Bukan dari mereka yang bermata sipit, berapakaian kimono atau berbahasa Jepang, tapi dari karakter dan kultur budaya orang Jepangnya masih butuh riset mendalam. Aku juga sedikit aneh dengan Hideyoshi yang dikatakan di sini sudah berumur 90 tahun, tapi masih bisa lompat, berguling, dan menangkis saat latihan Kendo bersama Ryuhei. Maaf, maaf aja nih ya, memang orang Jepang tuh walaupun sudah pada tua tapi gak sebegitunya juga kaliiii, kakek-kakek yang hampir berumur seabad masih bisa melakukan hal itu semua?? Err.... Maksa banget tau. Futaba terlalu cengeng, ini efek cari riset dari manga menye-menye soal kisah cinta remaja Jepang kayaknya. Ryuhei, gak pasti sifatnya kayak gimana, jahat kagak, baik juga kagak, dingin kagak, perhatian juga gak tuh. Nanggung, setengah-setengah. ╮(╯_╰)╭
Terakhir aku banyak banget menemukan penempatan bahasa Jepang yang tidak pas dengan situasi dan kondisi para tokoh. Kita ulas semuanya di sini.
- (“Moshi-moshi, Mario-san,” ledek Veli sambil menjulurkan lidah. Hal 38) Di sini konteksnya Veli sedang menjaili Mario, dan moshi-moshi yang artinya ‘halo’ tersebut hanya digunakan dalam percakapan saat menerima telepon saja. Tidak digunakan untuk percakapan langsung. Biasnya mereka (orang Jepang) lebih sering menggunakan Konnichiwa untuk menyapa seseorang saat bertemu, memiliki dua arti yaitu ‘selamat siang’ dan ‘halo’.
- (“Oka-san, Oka-san,” suara mungil seorang anak perempuan kecil *pemborosan kata* menarik perhatian Veli. Dia minta tolong ibunya─. Hal 55) Oka-san mah nama orang atuh, yang artinya tuan Oka. *tepok jidat* Yang betul okaasan / kaasan / okaachan / kaachan / haha. Semua artinya sama, ‘ibu’. Cuma penggunaannya aja yang membedakan. Dicocok-cocokin aja sama usia si tokoh yang mau manggil ibunya. Masa iya cowok remaja Jepang manggil ibunya kaachan. Cucok ngga tuh. Heu.
- (“Aaaaaah... sugooooi!” Hal 108) Di sini ceritanya Mario sedang menyaksikan sepasang kekasih saat adegan melamar dan memperlihatkan cincin kepada pasangannya. Si wanita bereaksi dengan bilang sugoi. Kurang tepat aja sih reaksinya, harusnya kirei / suteki yang artinya ‘cantik, indah’. Kalau kata sugoi itu kan artinya ‘keren, luar biasa, menakjubkan’. Lebih ke penggunaan saat melihat pemandangan yang bagus, atau waktu lihat orang bisa melakukan yang gak bisa kamu lakukan. Contohnya, sugoi kamu udah bisa pake tekhnik seperti itu, sugoi kamu bisa makan ramen cepet banget, sugoi mantan kamu ada 25 *eeeeeeeh*. Haha yaa pokoknya semacam itu.
- (“Ohayou?” Hal 112) Di adegan ini juga kurang tepat, ceritanya Mario sama Veli sedang mengunjungi rumahnya Hideyoshi saat pertama kali. Nah mereka kurang tepat bilang ohayou saat masuk ke rumah orang yang sepi, harusnya bilang sumimasen, yang artinya ‘permisi’. Yaa kalau di Sunda mah, punteun ada orang gak? Gitu. Hehee kalau ohayou ini masuknya kedalam aisatsu atau sapaan saat bertemu dengan seseorang di pagi hari.
- (“Indonesia-jin desu. Kochira wa, Hideyoshi-sama,” Hal 114) Sebenarnya ini gak ada yang salah sih, cuma agak aneh aja. Kenapa manggil Mario dan Veli saat memperkenalkan pake Indonesia-jin desu? Oke aku jelasin dulu, kalimat itu artinya ‘Orang Indonesia (titik) *iye titik, soalnya disitu berakhiran desu kalau desuka jadi pake tanda tanya* Ini adalah, *ngapain komaaaa, gustiii* tuan Hideyoshi’. Mbak penulis, ini yang ngomong orang Jepangnya asli lho, bukan orang Indonesia yang lagi ngomong Jepang. Kenapa jadi aneh banget jatohnya?? Kenapa gak seperti ini aja sih kalimatnya, ‘Minnasan, koshira wa Hideyoshi-sama desu’ yang artinya ‘semuanya, ini adalah tuan Hideyoshi’. Lebih simpel dan efektif kan. Kenapa harus pake kalimat Indonesia-jin? Kenapa, oh kenapa? Kalimat ini jadi keliatan kayak dapet dari translate google, atau mentranslate perkata, terus dirangkai pake penulisan Indonesia, padahal penulisan SPOK Jepang itu beda.
- (“Arigatou,” Veli membalas ucapan terima kasih mereka. Hal 197) Ini udah jelas-jelas salah banget. Untuk membalas ucapan terimakasih, yang benar itu, ‘Iie, douitashimashite’ yang asrtinya ‘sama-sama’. Ini bahasa yang paling mendasar lho. Please lah, jangan sefatal ini salahnya. Pengan nangis bacanya juga. Heuheu
Sisi positifnya, penulis membuat perpaduan kebudayaan Jepang dan Indonesia dalam menggunakan kain tradisional menjadi model-model baju ala yukata dan kimono. Juga tentang sejarah Indonesia saat masa penjajahan Jepang yang enyerah tanpa syarat, prolognya mencekam aku sempat salah kira kalau ini novel romance. Lol Acungi jempol juga soal riset kebudayaan Jepang tentang samisen dan samurai. Pada akhirnya aku pun memberikan tiga bintang untuk novel karya pertama mbak Silvarani yang saya baca. Good luck, mbak Silvarani. Keep writing. ヾ(*´∀`*)ノ
PS. Kalau dilanjutin, takutnya malah jadi blog pelajaran bahasa Jepang, bukan blog review novel. Lol
Komentar
Posting Komentar