Review Momoye Mereka Memanggilku

Judul Buku : Momoye Mereka Memanggilku
Penulis : Eka Hindra dan Koichi Kimura
Penerbit : Erlangga
ISBN : 9789790152199

Blurb ;

Momoye adalah salah satu potret buram seorang perempuan dari Yogyakarta yang dipaksa menjadi "rangsum jepang" pada masa pendudukan Jepang di Indonesia th 1942. Mardiyem, demikian namanya kecilnya, harus menanggung derita panjang selama menjadi Jugun Ianfu di Asrama tentara Jepang, Telawang Kalimantan Selatan. Ia disiksa, dianiaya, dipaksa melayani nafsu seks tentara Jepang pada umur yang masih sangat muda 13 th, bersama 24 orang perempuan lainnya, yang berasal dari berbagai daerah di pulau Jawa.

*       *       *

Pada tahun 1999 jarang sekali ditemui tulisan mengenai Jugun Ianfu di Indonesia, apa lagi saat ini. Tulisan tentang perjuangan para Jugun Ianfu pada peta sejarah Indonesia sudah tidak terdengar, bahkan mungkin sudah usang di telan zaman modern. Generasi muda bangsa Indonesia khususnya perempuan, kini sudah tidak tahu lagi tentang bagaimana menyakitkan dan tersiksanya nenek moyang kita yang dipaksa menjadi Jugun Ianfu (budak seks) militer Jepang. Masa remaja adalah masa yang indah, penuh cinta dan cita yang dialami oleh setiap orang. Rasanya tidak ada satu orang pun di dunia ini yang memimpikan masa indah dalam hidupnya harus dirampas paksa oleh keadaan yang buruk dan takdir. Siapakah yang mampu menolak dilahirkan pada suatu masa?
Periode penjajahan Jepang di Indonesia tahun 1943-1945, menjadi masa yang paling kelam dan brutal bagi para perempuan dan remaja Indonesia di masa itu. Perang menyeret mereka untuk melewati dan mengalami nasib yang mengerikan dalam sejarah peradaban manusia. Hak asasi mereka sebagai manusia dirampas dan dihancurkan militer Jepang.

Kita generasi yang hidup pada masa pascaperang, sesungguhnya berhutang moral kepada mereka yang telah mengalami masa-masa mengerikan saat perang terjadi. Mereka bukan hanya kehilangan masa remaja, tetapi juga dipaksa kehilangan rasa cinta. Betapa pedihnya masa-masa perang, betapa perempuan-perempuan muda kala itu tidak bisa memilih takdir untuk hidupnya sendiri.

Istilah Jugun Ianfu sendiri jika diartikan secara harfiah menjadi Ju = Ikut, Gun = militer/balatentara, sedangkan Ian = Penghibur, dan Fu = Perempuan, dengan demikian arti keseluruhannya adalah “Perempuan penghibur yang ikut militer”. Dapat diartikan istilah Jugun Ianfu merupakan istilah halus untuk perempuan-perempuan yang dipaksa bekerja sebagai budak seks yang ditempatkan di barak-barak militer atau bangunan yang dibangun di sekitar markas militer Jepang selama perang Asia Pasifik. 

Menurut riset oleh Dr. Hirofumi Hayashi, seorang profesor di Universitas Kanto Gakuin, Jugun Ianfu termasuk orang Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, Indo Belanda, dan penduduk kepulauan Pasifik. Jumlah perkiraan dari Jugun Ianfu ini pada saat perang, berkisar antara 20.000 hingga 30.000 perempuan atau bahkan berada di batas atas dari angka tersebut.

Praktek Jugun Ianfu yang terjadi di Indonesia ternyata adalah suatu kesengajaan atau bagian dalam rencana menjaga keefektifan dan kinerja para tentara Jepang dalam bertugas. Dimana kepuasan seks tentara akan mempengaruhi kinerja para tentara Jepang dan apabila hal tersebut tidak dituruti maka para tentara Jepang akan mengalami kemunduran. Pengerahan Jugun Ianfu yang diartikan sebagai “budak seks” dilakukan secara gelap, di bawah tangan. 

Kaum perempuan yang menjadi Jugun Ianfu umumnya berpendidikan rendah, bahkan ada yang tidak berpendidikan sama sekali, dan buta huruf. Selain kebodohan yang dimilikinya, mereka juga berada kedalam jeratan ekonomi yang membelit. Kebodohan dan kemiskinan membuat mereka percaya begitu saja pada tawaran kerja yang cukup menjanjikan yang tidak membutuhkan keahlian khusus seperti pambantu rumah tangga, pelayan restoran atau pekerjaan apa saja yang hanya membutuhkan tenaga.

Para perempuan yang dijadikan Jugun Ianfu dimasukkan ke dalam rumah bordil ala Jepang yang disebut Ian-jo, antara lain terdapat dibekas asrama peninggalan Belanda, markas militer Jepang dan rumah-rumah penduduk yang sengaja dikosongkan. Tempat-tempat itu biasanya dijaga ketat oleh tentara Jepang. Setiap perempuan di Ian-jo biasanya mendapatkan kamar dengan nomor kamar, bahkan namanya diganti dengan nama Jepang seperti yang dituliskan di pintu kamar.

Sebelum menjalani tugas sebagai Jugun Ianfu (budak seks), perempuan-perempuan di Ian-jo menjalani pemeriksaan kesehatan yang merendahkan martabat. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa ketika para petugas medis menyuruh mereka membuka pakaian sampai akhirnya mereka telanjang bulat, lalu vagina mereka diperiksa dengan memasukkan alat terbuat dari besi panjang, dan jika alat ini ditekan, bagian ujungnya akan mengembang dan dapat membuka vagina menjadi lebih lebar. Melalui alat yang dinamakan cocor bebek, dapat diketahui apakah kemaluan calon Jugun Ianfu sudah terserang penyakit atau masih sehat. 

Di Ian-jo mereka disiksa secara kejam dan dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara Jepang sebanyak 10 hingga 20 orang siang dan malam serta dibiarkan kelaparan. Kemudian diaborsi secara paksa apabila hamil. Banyak perempuan mati dalam Ian-jo karena sakit, bunuh diri atau disiksa sampai mati. 

Para Jugun Ianfu hanya pasrah dalam menjalani penderitaan hidup karena mereka tidak punya pilihan lain. Kesempatan melarikan diri tidaklah mungkin karena jarak perjalanan pulang jauh, apalagi mereka buta tentang pengetahuan peta, dan mereka pun tidak mempunyai uang untuk bepergian meski di Ian-jo berlaku sistem pembayaran.

Setiap tamu baik kalangan militer maupun sipil datang ke Ian-jo harus antre untuk masuk dan membeli karcis terlebih dahulu seperti kalau mau nonton bioskop. Sebelum membeli karcis biasanya tamu melihat papan nama. Pada papan nama itu tercantum nama-nama Jepang dan nomor kamar dalam tulisan huruf Jepang. Karcis tersebut terbuat dari kertas tipis, bentuknya persis seperti karcis bioskop dengan mencantumkan harga serta jam kunjungan.

Tamu yang datang tidak bisa sembarangan masuk ke kamar-kamar. Semuanya diatur dan diawasi oleh pengelola. Jam tamu siang hari antara pukul 12.00-17.00 khusus untuk serdadu Jepang pangkat rendah dengan karcis seharga 2,5 Yen. Lalu sore hari pukul 17.00-24.00 khusus untuk orang sipil Jepang dengan harga karcis 3,5 Yen. Sedangkan mulai pukul 24.00 sampai pagi banyak dipakai oleh serdadu Jepang yang berpangkat tinggi, dikenai karcis seharga 12,5 Yen.

Meskipun berlaku sistem pembayaran, Jugun Ianfu tidak pernah menerima uang kecuali karcis dari tamu yang datang. Setiap pengelola Ian-jo, mengatakan agar karcis dikumpulkan, kelak dapat ditukar dengan uang jika mereka berhenti bekerja sebagai Jugun Ianfu. Tapi nyatanya semua janji manis itu hanyalah janji belaka. Mereka para Jugun Ianfu sama sekali tidak mendapat bayaran sepeserpun setelah Jepang kalah dan pulang kembali ke negaranya pada tahun 1945. 

Setelah perang Asia Pasifik usai Jugun Ianfu yang masih hidup didera perasaan malu untuk pulang ke kampung halaman. Mereka memilih hidup ditempat lain dan mengunci masa lalu yang kelam dengan berdiam dan mengucilkan diri. Hidup dalam kemiskinan ekonomi dan disingkirkan masyarakat. Mengalami penderitaan fisik, menanggung rasa malu dan perasaan tak berharga hingga akhir hidupnya. 

“Masyarakat masih mencap kami sebagai pelacur dan perempuan nakal, meskipun peristiwa itu telah terjadi puluhan tahun yang lalu. Penderitaan fisik masih aku rasakan sampai sekarang. Tulang punggungku remuk, kaki kiriku mengecil dan di kepalaku ada gumpalan darah”. Begitulah menurut penuturan Mardiyem, salah satu korban Jugun Ianfu, saat tahun 2007 lalu diwawancara oleh Kantor Berita Radio INTERNEWS INDONESIA. 

Ian-jo pertama di dunia dibangun di Shanghai, Cina tahun 1937. Pada tahun itu militer Jepang yang sedang ditempatkan di negara Cina memperkosa dengan brutal terhadap perempuan-perempuan Cina yang terlihat di jalan oleh mereka. Bayangkan, sejarah mencatat dalam waktu enam minggu prajurit Jepang telah memperkosa lebih dari 20.000 perempuan Cina dari berbagai usia. 

Kebrutalan para prajurit Jepang ini terbentuk pada saat proses latihan menjadi prajurit. Mereka dididik sangat keras dan kejam untuk menjadi personel militer Jepang yang tangguh dan berani. Tindakan ini sengaja dilakukan untuk membuat para prajurit menjadi brutal dan kejam di medan perang. Beberapa kesaksian prajurit Jepang yang masih hidup menyatakan bahwa jika mereka melakukan kesalahan kecil akan dipukuli secara fisik dengan kejam oleh para instruktur yang melatih para calon prajurit.

Maka pada saat itu tidak dapat dihindari lagi, banyak diantaranya prajurit Jepang terjangkit penyakit kelamin karena melakukan perkosaan secara brutal. Akibatnya kekuatan balatentara Jepang untuk melakukan peperangan di Cina menjadi lemah. Berita mengenai melemahnya kekuatan balatentara Jepang di Cina sampai ke markas pusat di Tokyo, sehingga markas besar militer di Tokyo mengirim dokter spesialis bernama Aso Tetsuo. Untuk mengontrol masalah kesehatan para prajurit Jepang, tahun 1937 Aso merekomendasikan untuk menyediakan tempat pelacuran khusus bagi para prajurit Jepang. Inilah cikal bakal Ian-jo yang menjadi penjara bagi para Jugun Ianfu yang dipaksa oleh militer Jepang.

Kaisar Hirohito merupakan pemberi restu sistem Jugun Ianfu ini diterapkan di seluruh Asia Pasifik. Para pelaksana di lapangan adalah para petinggi militer yang memberi komando perang. Maka saat ini pihak yang harus bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan ini adalah pemerintah Jepang. 

Pemerintah Jepang masa kini tidak mengakui keterlibatannya dalam praktek perbudakan seksual di masa perang Asia Pasifik. Pemerintah Jepang berdalih Jugun Ianfu dikelola dan dioperasikan oleh pihak swasta. Pemerintah Jepang menolak meminta maaf secara resmi kepada para Jugun Ianfu. 

Kendatipun demikian Juli 1995 Perdana Menteri Tomiichi Murayama pernah menyiratkan permintaan maaf secara pribadi, tetapi tidak mewakili negara Jepang. Tahun 1993 Yohei Kono mewakili sekretaris kabinet Jepang memberikan pernyataan empatinya kepada korban Jugun Ianfu. 

Dan di gedung Nihon Seinen-kan, Tokyo lah sidang ditutup dengan mengumumkan hasil rekomendasi dari para hakim kepada publik. Setelah mendengar kesaksian para korban, membaca semua dokumen dan bukti-bukti, Hakim Ketua Grabrielle Kirk McDonald menyatakan bahwa Kaisar Hirohito terbukti bersalah atas terjadinya sistem perbudakan seksual yang terjadi selama Perang Asia Pasifik. 

Keputusan bersejarah ini telah dibacakan bertepatan dengan Hari Perempuan Sedunia, 8 Maret 2001. Dan keputusan ini berhasil mematahkan mitos bahwa Kaisar Jepang Hirohito yang ditetapkan sebagai tersangka, adalah titisan dewa. Seperti sudah diketahui bagi bangsa Jepang, kaisar adalah titisan dewa dan sangat dimitoskan sebagai sosok manusia setengah dewa yang tidak mungkin melakukan kesalahan dan tidak pernah membuat dosa sedikitpun. 

Namun pada Maret 2007 Perdana Menteri Shinzo Abe mengeluarkan pernyataan yang kontroversial dengan menyanggah keterlibatan militer Jepang dalam praktek sistem perbudakan seksual ini. Ada ratusan, bahkan ribuan perempuan korban penjajahan Jepang yang disebut Jugun Ianfu tersebar di seluruh Asia Pasifik, bagaimana mungkin Perdana Menteri Shinzo Abe masih menyangkal kebenaran kasus ini, bahkan menutup-nutupinya kepada warga Jepang itu sendiri.

Di Indonesia mantan Jugun Ianfu sampai sekarang tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Kehidupan para mantan Jugun Ianfu, beban berat penderitaan masa lalunya ternyata hanya menjadi sebuah kenangan yang bagi bangsa Indonesia saat ini mungkin tak ada nilainya, padahal jika kita dapat belajar dari kehidupan mereka seharusnya merekalah yang patut kita ke depankan karena merekalah pahlawan-pahlawan bangsa kita sesungguhnya yang mempunyai peran yang vital bagi Indonesia, meskipun dengan cara yang menyakitkan bagi mereka. Sekali lagi, kita berhutang hidup kepada mereka. Jika saja kita menjadi seorang remaja perempuan pada masa itu, kita tidak akan bisa mengelak takdir untuk dipaksa menjadi budak seks. Kita berhutang kepada rahim-rahim mereka yang telah berani dan tabah menjalani kehidupan yang teramat pedih.




Komentar

  1. Balasan
    1. eh mabk Peri Hutan, hehe iya aku selalu begini kalau lagi review buku tentang Jepang. Pasti lengkap, kap, kap banget xD

      Hapus
  2. Kerenn... Aku dah baca beberapa buku fiksi dan bio ttg jugun ini, tp momoye blm baca aku cari di gramedia udh ngk ada

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer